Minggu, 28 April 2013

Untuk yang terkasih,
Di istananya
Salam lembut ku sapa dalam hampa hawa di sini. Tak lagi kata cinta dan kata sayang selagi aku mampu meraih lembut bingkai-bingkai hati. Itu semua berlalu. Melebihi ambang batas normal cinta dan sayang semestinya.
Dan lagi, salam terlembut dengan senyum tulus dari rona kejauhan aku haturkan dalam sendu malamku. Ketika malamku sepi dalam naungan syahdu cintamu, aku menganga dalam sembilu luka. Luka tak tersayat perih dalam tetesan embun, tanpa merauk indah bingkai nafasmu. Malam penuh duka tanpa aura hangat seperti malam-malam biasanya, ketika getir kini aku berlabuh pada sandaran sofa di muka ruang, ketika hanya berteman segelas kosong dari air yang ku suap jenuh pada telaga dahaga, ketika ini pula rautan pensil tak kuasa kubendung dalam jerit nuansa rindu. Tatapku kosong. Indahnya terbawa paksa pada rusuk kekarmu itu. Aku meringik. Terbias bayang-bayang manis saat kaki menjamah dekil tanah abu-abu bumi.
Dan lagi-lagi. Salam lembut selembut-lembutnya ku hembuskan pada bintang yang bertahta dilangit, agar kerlipnya tersampai pada jiwa kejauhan yang nampak lunglai dalam singgasanamu. Sudikah jiwamu berdalih pada pendarnya ketika aku berjalan dalam laksa langit hitam pekat agar mau kau tengok sekilas tulusku?
Terlintas dalam benak, mungkinkah sebuah kejenuhan hinggap menghantui ruangku dalam hatimu kini? Karena pendar yang kutitipkan lewat kejora itu tak lagi kau tangkap dengan sekerat mawar putih bersih nan suci. Bukan sebuah keraguan. Hanya sebuah ketakutan dari orang yang merasa “Kamu Hidupku, Kamu Nyawaku, Kamu Nafasku…”

Senin, 22 April 2013


Tidak ada manusia yang tidak beruntung di dunia ini. Kau percaya? Aku percaya.
Kita hidup sampai sekarang merupakan suatu keberuntungan yang sangat besar. Kita hidup dengan dilengkapi fisik yang sempurna, merupakan suatu keberuntungan. Jangan pernah sedikitpun mengeluh karena merasa kau bukan salah satu orang yang beruntung. Salah besar bilaika kau merasa seperti itu, Dewi. 



PETUAH-PETUAH BERHARGA DALAM BUKU OJO DUMEH
KARYA OMAR ISHANANTO.
Judul buku                  : Ojo Dumeh
Pengarang                   : Omar Ishananto
Penerbit                       : PT Revka Petra Media
Tahun Terbit                : 2012
Tebal buku                  : 106 halaman

Kumpulan tulisan Omar Ishananto yang dibukukan oleh Renie Kumalasari ini berisi tentang kisah-kisah atau ringkasan cerita-cerita singkat yang tiap ending-nya memiliki makna yang begitu dalam. Serapan moral dapat diterima kala kita membaca tiap-tiap judul bacaan dalam buku ini.
Kutipan kisah mimesis berawal dari judul cerita pertama “Batu Karang Diantara Gelombang” yang merupakan kembangan cerita kisah anggota advokasi  Trimoelja D. Soerjadi, SH, yang memiliki keberanian dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kehidupannya sedari kecil sudah berkecimpung di dunia politik. Bahkan ketika dia masih duduk  di bangku kuliah dia sudah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kutipan cerita ini juga mengisahkan tentang kelegowoan sang ayah Mr. Soerjadi yang menghargai kehadiran pesaing mudanya yang bukanlain adalah anak kandungnya sendiri. walaupun pesaingnya muda, beliau tidak pernah sedikit pun memandang sebelah mata. Keluarga Trimoelja D. Soerjadi, SH ini patut dijadikan teladan yang baik, karena mengangkat citra profesi advokad sebagai suatu ‘officium nobile”­ –suatu noble profession.
“Humor Berpijak Pada Kejujuran” Berisi perjalanan dan kisah kehidupan HM. Cheng Hoo Djadi Galajapo. Dewasa ini menemukan jati dirinya sebagai seorang PELAWAK. Sedari kecil beliau terlihat cerdas, humoris dan senang berpetualang alias kluyuran. Nama kecilnya juga tidak sepanjang itu, pada awalnya dia bernama Darmadji. Tetapi karena memiliki kemiripan dengan tokoh pedagang, Kasim Muslim asal Tiongkok. Pedagang ini memiliki kewibawaan tinggi didepan kawan maupun lawannya. Dibalik semua iitu dia  memiliki toleransi tinggi, humanis, dan bermoral tinggi.
Darmadji yang memiliki kemiripan dengan tokoh tersebut sedari kecil lambat laun bermetamorfosis sejalan dengan pencarian jati diri menjadi HM. Cheng Hoo Djadi Gajalapo. Memang lawakan yang berkualitas – mampu menempatkan humor sebagai penggugah tawa – mampu membawa diri orang tersebut jauh memasuki diri penikmatnya. Terkadang lawakan yang terlalu berambisi untuk “membuat tawa kantong saku”–mendapat rupiah-malah berdampak membunuh diri sendiri. Tak khayal bahwa lawakan dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua, tergantung pada siapa pembawanya. Seperti yang dikatakan oleh Mas Cheng Hoo. Dengan berprinsip inilah, beliau selalu berusaha membuat lawakan yang bermutu, berpendidikan, dan memiliki pesan moral dalam menggugah moral bangsa, sehingga bernilai kejujuran.
Nilai merupakan realitas abstrak yang dapat dirasakan dalam diri manusia masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai yang bersifat abstrak ini dapat diketahui dari tiga  realitas, yaitu pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok (Kaswardi (1993:20).
Apabila disimak lebih detail, catatan yang berjudul “Humor Berpihak Pada Kejujuran” berusaha merubah pemikiran seseorang. Bahwa tidak selamanya pekerjaan itu menyulitkan diri kita. Sebut saja Darmaji yang menjadi tokoh utama dalam cerita itu. Dia hanya mempunyai keinginan yang besar untuk muhibah ke Amerika tanpa didasari bekal bahasa. Tapi alhasil baik dia dapat. Dia mampu menggapai keinginannya melalui wawancara konyolnya dengan konsul Amerika. Dia juga dapat menunjukkan keberhasilannya menjadi seorang pelawak. Bahkan dia memandang pelawak sebagai tugas mulia. Bagaimana tidak, dengan melawak kita dapat membuat hati oranglain yang mendengarnya gembira. Akan tetapi lawakan yang tidak bermoral/ NGAWUR dapat membuat sakithati orang yang mendengarnya. Itulah keistimewaan Darmaji. Bgaimana lawakan yang disuguhkan Darmaji mengandung nilai kejujuran yang mendidik.
Moral menurut Poespoprojo (1986:102) adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang bersifat normatif, yang dapat dikatakan bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Adapun Suseno (1987:19) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.
Tuntunan moral ini di kisahkan melalui tokoh Trimoelja D. Soerjadi, SH yang berperilakuan baik. Menunjukkan keadilannya dalam menjunjung tinggi hukum. Serta tentang panglima yang mampu memberikan arti budi pekerti, tanggungjawab dan kasih sayang pada negeri yang dipimpinnya. Seorang panglima yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dengan cara membagikan uang kepada rakyatnya yang membutuhkan, padahal uang tersebut berasal dari mandat sang raja untuk memperkuat kerajaannya dengan cara membeli peralatan yang dibutuhkan kerajaan untuk memperluas kekuasaan. Perbuatan itu berbuah manis, kekuasaan sang raja bertambah luas. Bahkan sang raja terheran melihat negerinya yang aman, luas dan rakyat-rakyatnya mengelukan dan menghormatinya. Semua itu karena kebijakan yang ditunjukkan panglima. Kita tidak akan membawa harta yang kita miliki saat kita mati, tetapi kita hanya dapat menikmati budi yang baik dari orang-orang yang selalu mengenang kita setelah mati. Dan semua itu akan kita dapatkan tatkala kita menebarkan kedamaian kepada sesama.         
Ini hanyalah selayang pandang yang disuguhkan dari gambaran buku "Ojo Dumeh”. Banyak hal-hal lain yang akan kita dapat setelah kita membaca buku tersebut. Dengan membaca dan mendalami  isi buku tersebut kita pasti akan menjadi orang yang lebih baik. Dengan catatan pembaca mampu mempraktikkan segala hal baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Semoga refrensi singkat tentang bacaan petuah ini dapat menarik perhatian pembaca untuk mencari dan membaca buku “Ojo Dumeh”.

Kobar Keperkasaan Seorang Perempuan
Ibu, Adakah Ungkapan Yang Begitu Perkasa Untuk Melukiskan Dirimu??....
Ibu. Hanya terangkai dari 3 huruf. Namun maknanya melebihi tiga huruf, tiga kata, tiga kalimat, puluhan, ratusan, ribuan, dan berjuta-juta makna.
Ketika saya mendengar kata “Ibu”, sekelebat muncul angan-angan masa lalu yang membawa hati saya berdesir.
Sebuah perjalanan panjang yang tak mungkin berlalu ketika saat ini telah mencapai titik amannya. Ya. Itulah yang sering saya katakan dalam hati setiap kali melihat ibu dengan keseharian mengenakan batiknya.
Kehidupan panjang selalu berawal dari sebuah perjalanan yang penuh liku. Tahun 1992, menjadi awal perjuangan sosok ibu di mata saya. Masih teringat jelas bagaimana suara ibu tergetar ketika berkisah tentang tahun ini. Ya. Tahun-tahun yang tak akan pernah terlupa bagi seorang wanita yang telah bersuami. Sebelumnya di tahun 1991, ibu memutuskan untuk menikah dengan bapak yang hanya seorang juru bantu jurusan. Sering beliau ditugaskan hanya sebagai pengantar surat ke rumah-rumah dosen. Gaji yang diterima pun hanya cukup memenuhi isi perut. Sementara ibu hanyalah seorang karyawan di pasar Atom yang gajinya tak seberapa jauh dari gaji yang diterima bapak. Setahun setelah pernikahan mereka, kebahagiaan datang mengobati lara yang dipikul di tahun pertama pernikahan. Ibu mengandung. Tak terlintas dibenak mereka akan seperti apa jadinya bila memiliki seorang anak dengan hidup yang jauh dari kata enak. Selama 9 bulan lebih 10 hari, dengan pendapatan yang jauh dari kata tinggi, rupiah demi rupiah yang terkumpul untuk biaya persalinan, terbayar oleh kelahiran anak yang diidam-idamkan. Seorang bayi laki-laki normal, tampan, dan gagah. Begitulah ibu menceritakannya. Bayi itu adalah saya. Anak dari seorang wanita mungil yang harus melahirkan seorang bayi ditengah kehimpitan ekonomi.
Biaya rumah sakit dan perlengkapan bayi dianggap sebagai hal mudah bagi bapak. Masih pula ibu terbayang bagaimana air mata bapak yang seketika mengalir menyaksikan anak pertamanya dilahirkan. Dalam hati, beruntunglah aku menjadi anak itu karena telah membawa kebahagiaan ditengah peluh mereka.
Jatuh bangun memiliki seorang anak memang terasa getir. Namun hal itu tak mengurungkan niat ibu untuk memiliki anak lagi. Bagi mereka, anak adalah rezeki yang tak ternilai harganya dari sang Kuasa. Bahkan ibu masih mempercayai pepatah kuno, “banyak anak banyak rezeki”. Ibu ingin memiliki anak yang banyak. Ibu ingin punya anak yang banyak! Tidak hanya satu, tapi tiga! Terangnya.
Tanggung jawab memiliki anak membuat bapak dan ibu bersikeras untuk lebih giat bekerja. Mereka ingin anaknya tidak hidup susah. Mereka ingin kebutuhan anaknya tercukupi. Namun hal ini membuat bapak dan ibu sering menitipkan saya pada nenek. Sering pula saya menjadi anak yang sangat merindukan kehangatan mereka berdua. Terutama ibu yang harus bekerja hingga malam hari. Saya lebih sering bertemu bapak daripada bertemu ibu. Ketika ibu pulang bekerja, ketika itu pula saya yang masih kecil sudah lelap tertidur.
Saat itu samar saya masih bisa mengingatnya. Hal itu pula yang menjadikan saya menjadi anak yang dituntut untuk berfikir dewasa. Saya telah menyadari perjuangan ibu sangat tak mudah. Apalagi beliau melahirkan seorang anak laki-laki lagi. Gaji yang sangat pas-pasan dan harus mencukupi anggota keluarga baru. Ya. Adik saya. Jatuh bangun pula saya merasakan perjuangan bapak dan ibu ditengah-tengah hiruk pikuknya kota Surabaya. Masih pula saya mengingat bagaimana keluarga kecil kami berpindah-pindah kontrakan. Dari menetap di Brawijaya jln. Gaya titrem selama 2 tahun, kemudian berpindah lagi di kos-kosan kecil daerah ketintang baru dekat rel kereta api. Sangat kecil. Saya masih mengingatnya.
Ketika menetap di Ketintang Baru, sebuah kejadian tak terduga muncul ketika ibu baru pulang kerja. Pukul 7 malam, Dedik, adik saya yang masih berumur 2 tahun tiba-tiba terserang step. Betapa paniknya kami saat itu. Terlebih lagi ibu.  Beliau berlarian mencari kendaraan untuk membawa Dedik ke bidan. Saat itu kediaman kami jauh dari rumah sakit. Yang terdekat dari sana hanya bidan.
Lama berlarian ditengah hujan yang cukup deras, ibu hanya menemui seorang tukang becak. Tanpa pikir panjang, ibu memaksa tukang becak itu untuk mengantarnya. Awalnya si tukang becak menolak. Bukan karena apa-apa. Namun becaknya baru selesai di cat. Ibu tak mau tahu. Beliau tetap memaksa si tukang becak agar mau mengantarkan anaknya. Akhirnya beliau berhasil. Dengan mengendarai becak bersama bapak dan Dedik, mereka tiba di sebuah rumah bidan. Ada kejadian menggelitik ketika Dedik telah selesai diperiksa. Ibu tersadar bahwa baju mereka kotor terkena cat yang belum kering. Tak terkecuali bidan tersebut. Sampai saat ini, ibu masih menyimpan bajunya yang kotor karena cat becak yang belum kering. Untuk kenang-kenangan terangnya.
Ibu bercerita dengan menerawang. Sebuah pengorbanan ibu sedikit demi sedikit yang mampu mengangkat keluarga kami menjadi seperti sekarang ini. Saya merasa betapa leganya hati ibu saat menyadari perjuangannya tak sia-sia. Jerih payah bekerja hingga larut malam, mengumpulkan rupiah demi rupiah, menabung meski se-sen demi sen, hingga meminjam uang di bank, akhirnya kami bisa memiliki sebuah rumah sendiri. Di daerah Gresik di dalam sebuah perumahan yang cukup bersih. Tak hanya itu, ibu bias membeli sebuah rumah dan dijadikan sebagai kos-kosan. Bapak juga telah menjadi pekerja tetap dengan gaji tiap bulannya. Ketika hidup kami telah cukup membaik, ibu melahirkan seorang anak lagi. Adik kecilku yang bernama Agung.
Sebuah arti hidup yang benar-benar harus saya syukuri. Karena dan berkat ibu. Yang menjadikan keluarga kami menjadi seperti sekarang. Saya terharu. Betapa berartinya sosok ibu bagi saya. Beliau hanya berfisik perempuan. Beliau lemah. Namun sesungguhnya beliau wanita yang perkasa. Ya. Keperkasaan di dalam kelembutannya. Ibu.
HAFIZH ANDIKA PUTRA/ FBS/ UNESA
Hafizh Andika Putra Jelek kayak bebek. hidungnya pesek. seperti doraemon