Kobar
Keperkasaan Seorang Perempuan
Ibu, Adakah
Ungkapan Yang Begitu Perkasa Untuk Melukiskan Dirimu??....
Ibu. Hanya terangkai dari 3 huruf. Namun
maknanya melebihi tiga huruf, tiga kata, tiga kalimat, puluhan, ratusan,
ribuan, dan berjuta-juta makna.
Ketika
saya mendengar kata “Ibu”, sekelebat muncul angan-angan masa lalu yang membawa
hati saya berdesir.
Sebuah
perjalanan panjang yang tak mungkin berlalu ketika saat ini telah mencapai
titik amannya. Ya. Itulah yang sering saya katakan dalam hati setiap kali
melihat ibu dengan keseharian mengenakan batiknya.
Kehidupan
panjang selalu berawal dari sebuah perjalanan yang penuh liku. Tahun 1992,
menjadi awal perjuangan sosok ibu di mata saya. Masih teringat jelas bagaimana
suara ibu tergetar ketika berkisah tentang tahun ini. Ya. Tahun-tahun yang tak
akan pernah terlupa bagi seorang wanita yang telah bersuami. Sebelumnya di
tahun 1991, ibu memutuskan untuk menikah dengan bapak yang hanya seorang juru
bantu jurusan. Sering beliau ditugaskan hanya sebagai pengantar surat ke
rumah-rumah dosen. Gaji yang diterima pun hanya cukup memenuhi isi perut.
Sementara ibu hanyalah seorang karyawan di pasar Atom yang gajinya tak seberapa
jauh dari gaji yang diterima bapak. Setahun setelah pernikahan mereka,
kebahagiaan datang mengobati lara yang dipikul di tahun pertama pernikahan. Ibu
mengandung. Tak terlintas dibenak mereka akan seperti apa jadinya bila memiliki
seorang anak dengan hidup yang jauh dari kata enak. Selama 9 bulan lebih 10
hari, dengan pendapatan yang jauh dari kata tinggi, rupiah demi rupiah yang
terkumpul untuk biaya persalinan, terbayar oleh kelahiran anak yang
diidam-idamkan. Seorang bayi laki-laki normal, tampan, dan gagah. Begitulah ibu
menceritakannya. Bayi itu adalah saya. Anak dari seorang wanita mungil yang
harus melahirkan seorang bayi ditengah kehimpitan ekonomi.
Biaya
rumah sakit dan perlengkapan bayi dianggap sebagai hal mudah bagi bapak. Masih
pula ibu terbayang bagaimana air mata bapak yang seketika mengalir menyaksikan
anak pertamanya dilahirkan. Dalam hati, beruntunglah aku menjadi anak itu
karena telah membawa kebahagiaan ditengah peluh mereka.
Jatuh
bangun memiliki seorang anak memang terasa getir. Namun hal itu tak
mengurungkan niat ibu untuk memiliki anak lagi. Bagi mereka, anak adalah rezeki
yang tak ternilai harganya dari sang Kuasa. Bahkan ibu masih mempercayai
pepatah kuno, “banyak anak banyak rezeki”. Ibu ingin memiliki anak yang banyak.
Ibu ingin punya anak yang banyak! Tidak hanya satu, tapi tiga! Terangnya.
Tanggung
jawab memiliki anak membuat bapak dan ibu bersikeras untuk lebih giat bekerja.
Mereka ingin anaknya tidak hidup susah. Mereka ingin kebutuhan anaknya
tercukupi. Namun hal ini membuat bapak dan ibu sering menitipkan saya pada
nenek. Sering pula saya menjadi anak yang sangat merindukan kehangatan mereka
berdua. Terutama ibu yang harus bekerja hingga malam hari. Saya lebih sering
bertemu bapak daripada bertemu ibu. Ketika ibu pulang bekerja, ketika itu pula
saya yang masih kecil sudah lelap tertidur.
Saat
itu samar saya masih bisa mengingatnya. Hal itu pula yang menjadikan saya
menjadi anak yang dituntut untuk berfikir dewasa. Saya telah menyadari
perjuangan ibu sangat tak mudah. Apalagi beliau melahirkan seorang anak
laki-laki lagi. Gaji yang sangat pas-pasan dan harus mencukupi anggota keluarga
baru. Ya. Adik saya. Jatuh bangun pula saya merasakan perjuangan bapak dan ibu
ditengah-tengah hiruk pikuknya kota Surabaya. Masih pula saya mengingat
bagaimana keluarga kecil kami berpindah-pindah kontrakan. Dari menetap di
Brawijaya jln. Gaya titrem selama 2 tahun, kemudian berpindah lagi di kos-kosan
kecil daerah ketintang baru dekat rel kereta api. Sangat kecil. Saya masih
mengingatnya.
Ketika
menetap di Ketintang Baru, sebuah kejadian tak terduga muncul ketika ibu baru pulang
kerja. Pukul 7 malam, Dedik, adik saya yang masih berumur 2 tahun tiba-tiba
terserang step. Betapa paniknya kami saat itu. Terlebih lagi ibu. Beliau berlarian mencari kendaraan untuk
membawa Dedik ke bidan. Saat itu kediaman kami jauh dari rumah sakit. Yang
terdekat dari sana hanya bidan.
Lama
berlarian ditengah hujan yang cukup deras, ibu hanya menemui seorang tukang
becak. Tanpa pikir panjang, ibu memaksa tukang becak itu untuk mengantarnya.
Awalnya si tukang becak menolak. Bukan karena apa-apa. Namun becaknya baru
selesai di cat. Ibu tak mau tahu. Beliau tetap memaksa si tukang becak agar mau
mengantarkan anaknya. Akhirnya beliau berhasil. Dengan mengendarai becak
bersama bapak dan Dedik, mereka tiba di sebuah rumah bidan. Ada kejadian
menggelitik ketika Dedik telah selesai diperiksa. Ibu tersadar bahwa baju
mereka kotor terkena cat yang belum kering. Tak terkecuali bidan tersebut.
Sampai saat ini, ibu masih menyimpan bajunya yang kotor karena cat becak yang
belum kering. Untuk kenang-kenangan terangnya.
Ibu
bercerita dengan menerawang. Sebuah pengorbanan ibu sedikit demi sedikit yang
mampu mengangkat keluarga kami menjadi seperti sekarang ini. Saya merasa betapa
leganya hati ibu saat menyadari perjuangannya tak sia-sia. Jerih payah bekerja
hingga larut malam, mengumpulkan rupiah demi rupiah, menabung meski se-sen demi
sen, hingga meminjam uang di bank, akhirnya kami bisa memiliki sebuah rumah
sendiri. Di daerah Gresik di dalam sebuah perumahan yang cukup bersih. Tak
hanya itu, ibu bias membeli sebuah rumah dan dijadikan sebagai kos-kosan. Bapak
juga telah menjadi pekerja tetap dengan gaji tiap bulannya. Ketika hidup kami
telah cukup membaik, ibu melahirkan seorang anak lagi. Adik kecilku yang
bernama Agung.
Sebuah
arti hidup yang benar-benar harus saya syukuri. Karena dan berkat ibu. Yang
menjadikan keluarga kami menjadi seperti sekarang. Saya terharu. Betapa
berartinya sosok ibu bagi saya. Beliau hanya berfisik perempuan. Beliau lemah.
Namun sesungguhnya beliau wanita yang perkasa. Ya. Keperkasaan di dalam kelembutannya.
Ibu.
HAFIZH ANDIKA PUTRA/ FBS/ UNESA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar