Senin, 22 April 2013


Kobar Keperkasaan Seorang Perempuan
Ibu, Adakah Ungkapan Yang Begitu Perkasa Untuk Melukiskan Dirimu??....
Ibu. Hanya terangkai dari 3 huruf. Namun maknanya melebihi tiga huruf, tiga kata, tiga kalimat, puluhan, ratusan, ribuan, dan berjuta-juta makna.
Ketika saya mendengar kata “Ibu”, sekelebat muncul angan-angan masa lalu yang membawa hati saya berdesir.
Sebuah perjalanan panjang yang tak mungkin berlalu ketika saat ini telah mencapai titik amannya. Ya. Itulah yang sering saya katakan dalam hati setiap kali melihat ibu dengan keseharian mengenakan batiknya.
Kehidupan panjang selalu berawal dari sebuah perjalanan yang penuh liku. Tahun 1992, menjadi awal perjuangan sosok ibu di mata saya. Masih teringat jelas bagaimana suara ibu tergetar ketika berkisah tentang tahun ini. Ya. Tahun-tahun yang tak akan pernah terlupa bagi seorang wanita yang telah bersuami. Sebelumnya di tahun 1991, ibu memutuskan untuk menikah dengan bapak yang hanya seorang juru bantu jurusan. Sering beliau ditugaskan hanya sebagai pengantar surat ke rumah-rumah dosen. Gaji yang diterima pun hanya cukup memenuhi isi perut. Sementara ibu hanyalah seorang karyawan di pasar Atom yang gajinya tak seberapa jauh dari gaji yang diterima bapak. Setahun setelah pernikahan mereka, kebahagiaan datang mengobati lara yang dipikul di tahun pertama pernikahan. Ibu mengandung. Tak terlintas dibenak mereka akan seperti apa jadinya bila memiliki seorang anak dengan hidup yang jauh dari kata enak. Selama 9 bulan lebih 10 hari, dengan pendapatan yang jauh dari kata tinggi, rupiah demi rupiah yang terkumpul untuk biaya persalinan, terbayar oleh kelahiran anak yang diidam-idamkan. Seorang bayi laki-laki normal, tampan, dan gagah. Begitulah ibu menceritakannya. Bayi itu adalah saya. Anak dari seorang wanita mungil yang harus melahirkan seorang bayi ditengah kehimpitan ekonomi.
Biaya rumah sakit dan perlengkapan bayi dianggap sebagai hal mudah bagi bapak. Masih pula ibu terbayang bagaimana air mata bapak yang seketika mengalir menyaksikan anak pertamanya dilahirkan. Dalam hati, beruntunglah aku menjadi anak itu karena telah membawa kebahagiaan ditengah peluh mereka.
Jatuh bangun memiliki seorang anak memang terasa getir. Namun hal itu tak mengurungkan niat ibu untuk memiliki anak lagi. Bagi mereka, anak adalah rezeki yang tak ternilai harganya dari sang Kuasa. Bahkan ibu masih mempercayai pepatah kuno, “banyak anak banyak rezeki”. Ibu ingin memiliki anak yang banyak. Ibu ingin punya anak yang banyak! Tidak hanya satu, tapi tiga! Terangnya.
Tanggung jawab memiliki anak membuat bapak dan ibu bersikeras untuk lebih giat bekerja. Mereka ingin anaknya tidak hidup susah. Mereka ingin kebutuhan anaknya tercukupi. Namun hal ini membuat bapak dan ibu sering menitipkan saya pada nenek. Sering pula saya menjadi anak yang sangat merindukan kehangatan mereka berdua. Terutama ibu yang harus bekerja hingga malam hari. Saya lebih sering bertemu bapak daripada bertemu ibu. Ketika ibu pulang bekerja, ketika itu pula saya yang masih kecil sudah lelap tertidur.
Saat itu samar saya masih bisa mengingatnya. Hal itu pula yang menjadikan saya menjadi anak yang dituntut untuk berfikir dewasa. Saya telah menyadari perjuangan ibu sangat tak mudah. Apalagi beliau melahirkan seorang anak laki-laki lagi. Gaji yang sangat pas-pasan dan harus mencukupi anggota keluarga baru. Ya. Adik saya. Jatuh bangun pula saya merasakan perjuangan bapak dan ibu ditengah-tengah hiruk pikuknya kota Surabaya. Masih pula saya mengingat bagaimana keluarga kecil kami berpindah-pindah kontrakan. Dari menetap di Brawijaya jln. Gaya titrem selama 2 tahun, kemudian berpindah lagi di kos-kosan kecil daerah ketintang baru dekat rel kereta api. Sangat kecil. Saya masih mengingatnya.
Ketika menetap di Ketintang Baru, sebuah kejadian tak terduga muncul ketika ibu baru pulang kerja. Pukul 7 malam, Dedik, adik saya yang masih berumur 2 tahun tiba-tiba terserang step. Betapa paniknya kami saat itu. Terlebih lagi ibu.  Beliau berlarian mencari kendaraan untuk membawa Dedik ke bidan. Saat itu kediaman kami jauh dari rumah sakit. Yang terdekat dari sana hanya bidan.
Lama berlarian ditengah hujan yang cukup deras, ibu hanya menemui seorang tukang becak. Tanpa pikir panjang, ibu memaksa tukang becak itu untuk mengantarnya. Awalnya si tukang becak menolak. Bukan karena apa-apa. Namun becaknya baru selesai di cat. Ibu tak mau tahu. Beliau tetap memaksa si tukang becak agar mau mengantarkan anaknya. Akhirnya beliau berhasil. Dengan mengendarai becak bersama bapak dan Dedik, mereka tiba di sebuah rumah bidan. Ada kejadian menggelitik ketika Dedik telah selesai diperiksa. Ibu tersadar bahwa baju mereka kotor terkena cat yang belum kering. Tak terkecuali bidan tersebut. Sampai saat ini, ibu masih menyimpan bajunya yang kotor karena cat becak yang belum kering. Untuk kenang-kenangan terangnya.
Ibu bercerita dengan menerawang. Sebuah pengorbanan ibu sedikit demi sedikit yang mampu mengangkat keluarga kami menjadi seperti sekarang ini. Saya merasa betapa leganya hati ibu saat menyadari perjuangannya tak sia-sia. Jerih payah bekerja hingga larut malam, mengumpulkan rupiah demi rupiah, menabung meski se-sen demi sen, hingga meminjam uang di bank, akhirnya kami bisa memiliki sebuah rumah sendiri. Di daerah Gresik di dalam sebuah perumahan yang cukup bersih. Tak hanya itu, ibu bias membeli sebuah rumah dan dijadikan sebagai kos-kosan. Bapak juga telah menjadi pekerja tetap dengan gaji tiap bulannya. Ketika hidup kami telah cukup membaik, ibu melahirkan seorang anak lagi. Adik kecilku yang bernama Agung.
Sebuah arti hidup yang benar-benar harus saya syukuri. Karena dan berkat ibu. Yang menjadikan keluarga kami menjadi seperti sekarang. Saya terharu. Betapa berartinya sosok ibu bagi saya. Beliau hanya berfisik perempuan. Beliau lemah. Namun sesungguhnya beliau wanita yang perkasa. Ya. Keperkasaan di dalam kelembutannya. Ibu.
HAFIZH ANDIKA PUTRA/ FBS/ UNESA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar