Di istananya
Salam lembut
ku sapa dalam hampa hawa di sini. Tak lagi kata cinta dan kata sayang selagi
aku mampu meraih lembut bingkai-bingkai hati. Itu semua berlalu. Melebihi
ambang batas normal cinta dan sayang semestinya.
Dan lagi, salam
terlembut dengan senyum tulus dari rona kejauhan aku haturkan dalam sendu
malamku. Ketika malamku sepi dalam naungan syahdu cintamu, aku menganga dalam
sembilu luka. Luka tak tersayat perih dalam tetesan embun, tanpa merauk indah
bingkai nafasmu. Malam penuh duka tanpa aura hangat seperti malam-malam biasanya,
ketika getir kini aku berlabuh pada sandaran sofa di muka ruang, ketika hanya
berteman segelas kosong dari air yang ku suap jenuh pada telaga dahaga, ketika
ini pula rautan pensil tak kuasa kubendung dalam jerit nuansa rindu. Tatapku
kosong. Indahnya terbawa paksa pada rusuk kekarmu itu. Aku meringik. Terbias bayang-bayang
manis saat kaki menjamah dekil tanah abu-abu bumi.
Dan lagi-lagi.
Salam lembut selembut-lembutnya ku hembuskan pada bintang yang bertahta
dilangit, agar kerlipnya tersampai pada jiwa kejauhan yang nampak lunglai dalam
singgasanamu. Sudikah jiwamu berdalih pada pendarnya ketika aku berjalan dalam
laksa langit hitam pekat agar mau kau tengok sekilas tulusku?
Terlintas
dalam benak, mungkinkah sebuah kejenuhan hinggap menghantui ruangku dalam
hatimu kini? Karena pendar yang kutitipkan lewat kejora itu tak lagi kau
tangkap dengan sekerat mawar putih bersih nan suci. Bukan sebuah keraguan.
Hanya sebuah ketakutan dari orang yang merasa “Kamu Hidupku, Kamu Nyawaku, Kamu
Nafasku…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar